Free Translation Widget

Senin, 18 Juli 2011

LUBANG HITAM AGAMA

Sebagian pendukung paham sekularisme dan liberalisme mungkin tidak sadar, bahwa penyebaran paham ini sejatinya bagaikan membuka sebuah kotak pandora. Saat kotak itu terbuka maka terjadilah peristiwa-peristiwa tragis yang susul-menyusul dan berlangsung secara liar, sulit dikendalikan lagi. Paham ini – yang biasanya berlindung dibalik jargon “pencerahan” dan “kebebasan berpikir”– menyimpan agenda-agenda dahsyat berupa penghancuran agama itu sendiri. Liberalisasi yang tanpa kendali telah terbukti menjadi senjata pemusnah masal buat agama-agama.Salah satu wacana yang berkembang pesat dalam tema sekularisasi dan liberalisasi Islam di Indonesia saat ini adalah tema “dekonstruksi Kitab Suci”. Maka, proyek liberalisasi Islam tidak akan lengkap jika tidak menyentuh aspek kesucian Al-Qur’an. Mereka berusaha keras untuk meruntuhkan keyakinan kaum Muslim, bahwa Al-Qur’an adalah Kalamullah, bahwa Al-Qur’an adalah satu-satunya Kitab Suci yang suci, yang bebas dari kesalahan. Ibarat dalam satu peperangan, para penghujat Al-Qur’an ini laksana menikam kaum Muslimin dari belakang.


Diantara tulisan-tulisan itu ada yang dikemas halus dan cukup ilmiah, sehingga tidak mudah bagi kebanyakan kaum Muslim untuk mengkritiknya. Tapi, ada juga penulis yang menggunakan bahasa yang kasar dan caci maki terhadap Al-Qur’an, para sahabat, dan para ulama Islam.
Beberapa buku yang kini tersebar bebas dan secara terang-terangan menyerang kesucian Al-Qur’an, di antaranya berjudul “Lobang Hitam Agama” (2005) karangan Sumanto al-Qurtuby yang secara terbuka mencaci maki Al-Qur’an dan para sahabat Nabi.
Di dalam buku ini tertulis kalimat-kalimat sebagai berikut:
  1. “Bahkan sesungguhnya hakikat Al Qur’an bukanlah “teks verbal” yang terdiri atas 6666 ayat bikinan Usman itu melainkan gumpalan-gumpalan gagasan.” (hal. 42).
  2. “Al-Quran bagi saya hanyalah berisi semacam “spirit ketuhanan” yang kemudian dirumuskan redaksinya oleh Nabi.” (hal. 42).
  3. “Oleh karena itu, Nabi, sahabat, dan pengalaman komunitas Mekkah dan Madinah (tajribatul madinah wa makkah) pada hakikatnya adalah “co-author” karena ikut “menciptakan” Al-Qur’an.” (hal. 43).
  4. “Seandainya (sekali lagi seandainya) Pak Harto berkuasa ratusan tahun, saya yakin Pancasila ini bisa menyaingi Al Qur’an dalam hal “keangkerannya” tentunya.” (hal. 64).
  5. “Al-Quran, sehingga menjadi”Kitab Suci” (sengaja saya pakai tanda kutip) juga tidak lepas dan peran serta “tangan-tangan gaib” yang bekerja di balik layar maupun diatas panggung politik kekuasaan untuk memapankan status Al-Qur’an. Dengan kata lain, ada proses historis yang amat pelik dalam sejarah pembukuan Al-Qur’an hingga teks ini menjadi sebuah korpus resmi yang diakui secara konsensus oleh semua umat Islam. Proses otorisasi sepanjang masa terhadap Al-Qur’an menjadikan kitab ni sebuah scripto sacra yang disanjung, dihormati, diagungkan, disakralkan dan dimitoskan. Padahal sebagian dan proses otorisasi itu berjalan dan berkelindan dengan persoalan-persoalan politik yang murni milik Bangsa Arab. Bahkan proses turunnya ayat ayat Al-Qur’an sendiri tidak lepas dari “intervensi” Quraisy sebagai suku mayoritas Arab.” (hal. 65)
  6. “Di sinilah maka tidak terlalu meleset jika dikatakan, Al-Qur’an, dalam batas tertentu, adalah “perangkap” yang dipasang bangsa Quraisy (a trap of Quraisy).” (hal. 65).
  7. “Kita tahu, Al-Qu’ran yang dibaca oleh jutaan umat Islam sekarang ini adalah teks hasil kodifikasi untuk tidak menyebut “kesepakatan terselubung” antara Khalifah Usman (644-656M) dengan panitia pengumpul yang dipimpin Zaid bin Tsabit, sehingga teks mi disebut Mushaf Usmani.” (hal. 65).
  8. “Maka, penjelasan mengenai Al-Qur’an sebagai “Firman Allah” sungguh tidak memadai justru dan sudut pandang internal, yakni proses kesejarahan terbentuknya teks Al-Qur’an (dan komunikasi lisan ke komunikasi tulisan) maupun aspek material dari Al Qur’an sendiri yang dipenuhi ambivalensi. Karena itu tidak pada tempatnya, jika ia disebut “Kitab Suci” yang disakralkan, dimitoskan.” (hal. 66)
  9. “Dalarn konteks ini, anggapan bahwa Al-Qur’an itu suci adalah keliru. Kesucian yang dilekatkan pada Al-Qur’an (juga kitab lain) adalah “kesucian palsu” — pseudo sacra –. Tidak ada teks yang secara ontologis itu suci.” (hal. 67).
  10. ”Setiap teks merniliki keterbatasan sejarah. Karena itu, setiap generasi selalu muncul “agen-agen sejarah” yang merestorasi sebuah teks. Musa, Jesus, Muhammad, Sidharta, Lao Tze, Konfusius, Zarasthutra, Martin Luther, dan lainnya adalah sebagian kecil dan contoh agen-agen sejarah yang melakukan restorasi teks. Tapi produk restorasi teks yang mereka lakukan bukanlah sebuah “resep universal’ yang shalih likulli zaman wa makaan (kompatibel di setiap waktu dan ruang) Mereka tidak hadir diruang hampa, mereka datang di tengah-tengah kehidupan manusia yang beragam dengan cita rasa yang berlainan pula. Jika mereka sudah melakukan restorasi teks atas teks sebelumnya, maka generasi pasca mereka mestinya melakukan hal yang sama dengan apa yang telah mereka lakukan: restorasi teks. Berpegang teguh secara utuh terhadap sebuah teks sama saja dengan berpegangan barang rongsokan yang sudah usang.” (hal. 70-7 1).
Begitulah tulisan-tulisan yang terdapat dalam buku yang terbit di Yogyakarta tersebut. Ajaibnya, buku seperti ni mendapat pujian berbagai tokoh. Dr. Moeslim Abdurrahman, menulis bahwa buku ini, “perlu dibaca oleh siapa saja yang ingin ber-taqarrub untuk mencari kebenaran.”
Ahmad Tohari, budayawan, penulis kolom resonansi di Harian Republika, juga menulis, “Buku ini menawarkan ruang luas bagi pemahaman agama yang manusiawi karena asas pluralisme yang diusungnya.” Penulis buku ini juga disebut dibagian awal buku sebagai ‘pemikir muda Indonesia “paling menonjol” saat ini, terutama dalam bidang sosiologi agama. Dalam pengantar buku, seorang Direktur Freedom Institute, rnenyebutkan, bahwa buku ini perlu diapresiasi dan disambut dengan baik. Tentu saja, kita patut mengapresiasi dan menyambut baik semua karya-karya ilmiah yang bermutu tinggi, yang didukung dengan data-data yang baik dan jujur.

Tetapi, kita juga wajib menguji dan menilai, apakah memang buku semacam ini merupakan buku ilmiah yang layak diperhitungkan. Jika ditelaah secara cermat, banyak isi buku ini yang lebih merupakan khayalan, luapan emosi, dendam, dan kemarahan penulisnya.
Misalnya, di bagian awal bukunya, penulis menyebutkan: “Jika kelak di akhirat, pertanyaan di atas diajukan kepada Tuhan, mungkin Dia hanya tersenyum simpul. Sambil menunjukkan surga-Nya yang mahaluas, di sana ternyata telah menunggu banyak orang, antara lain, Jesus, Muhammad, Sahabat Umar. Ghandi, Luther, Abu Nawas, Romo Mangun, Bunda Teresa, Udin, Babarudin Lopa, dan Munir!”
Bukankah cerita seperti ini hanya sebuah khayalan dan fantasi? Sorga yang sudah dikunjungi si penulis? Lihatlah, juga, dalam memandang Al-Qur’an, penulis mengguna kan nada-nada kecaman keras dan penghinaan kepada Sayyidina Usman RA. Padahal, tindakan beliau dalam memprakarsai penghimpunan Al-Qur’an diakui dan dihormati oleh kaum Muslimin. Semua sahabat Nabi ketika itu menyetujuinya. Bahkan, Sayyidina Ali RA yang memiliki Mushaf pribadi juga menyatakan: “Demi Allah, dia (Utsman RA) tidak melakukan apa-apa dengan Mushaf tersebut, kecuali dengan persetujuan kami semua.”

Ulama besar Abu ‘Ubayd juga pernah berkata: “Usaha Utsman (RA.) mengkodifikasi Al-Qur’an akan tetap dan sentiasa dijunjung tinggi, karena hal itu merupakan sumbangannya yang paling besar. Memang dikalangan orang-orang yang menyeleweng ada yang mencelanya, namun kecacatan merekalah yang tersingkap, dan kelemahan merekalah yang terbongkar.”
Jika memang Mushaf Utsmani terkait dengan rekayasa politik Utsman RA untuk mengokohkan kedudukannya dan kedudukan kaum Quraisy, maka logikanya, sepeninggal beliau, tentunya akan datang silih berganti penguasa-penguasa yang membuat Mushaf baru. Sepeninggal Bani Umayyah, mestinya Bani Abbasiyah juga membuat Al-Qu ran baru. Begitu juga Bani Fatimiyah, Bani Utsmaniyah, dan seterusnya. Tapi, semua ini tidak terjadi dalam sejarah kaum Muslimin. Bagaimana pun kerasnya pertentangan politik, tidak sampai terpikir di benak mereka untuk membuat Al-Qur’an baru, menghujat Sayyidina Utsman, apalagi menghinanya.
Ketika kita mendiskusikan buku Prof. A’zhami yang begitu serius dan berkualitas ilmiah tinggi, lalu kita membaca buku “Lobang Hitam Agama” ini, tampak dengan jelas, bagaimana rendahnya kualitas ilmiah buku in Entah apa yang menyebabkan penulis buku ini seperti menyimpan dendam dan kebencian yang begitu besar terhadap Al-Qur’an dan sahabat Nabi Muhammad saw yang mulia. Padahal, penulis yang alumnus Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga ini begitu hormat terhadap seorang orientalis bidang Al-Qur’an bernama Arthur Jeffery, dan mengutip pendapatnya tanpa kritis. (hal. 65).

Jika dengan Jeffery dia begitu hormat, ternyata tidak sebaliknya dengan para sahabat, khususnya Sayyidina Utsman. Padahal, sudah begitu banyak kajian kritis terhadap karya-karya Arthur Jeffery tentang Al-Qur’an. Prof. A’zhami sendiri dalam buku nya banyak memberikan kritik-kritik dan membongkar kekeliruan Jeffery. Tetapi, penulis yang dipuji-puji sebagai pemikir muda yang menonjol ini tidak mempedulikan studi kritis semacam itu, dan lebih suka melam piaskan hawa nafsunya untuk “menghabisi” Mushaf Usmani.
Kita sebenarnya sangat berharap munculnya pemikir-pemikir muda muslim yang jujur, ikhlas, tawadhu’, dan serius dalam kajiannya. Jika penulis ini berpendapat bahwa Rasulullah saw adalah yang menyusun redaksi Al-Qur’an, mestinya dia menyertakan bukti-buktinya. Bukankah pendapat ini adalah tidak lebih dan sebuah khayalan?


Sumber : Majalah Bulanan, Tabligh – Vol. 04/No. 06/November-Desember 2006. (Judul Asli : Al-Qur’an Dicaci, Orientalis Didewakan)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar