Free Translation Widget

Senin, 22 Agustus 2011

ISLAM DI INGGRIS

Meresapi Semangat Ramadan Muslim Minoritas di Inggris

Apakah Islam Itu Sejenis Makanan?
Semangat muslim minoritas di Inggris tidak kalah dengan muslim di mana pun dalam Ramadan ini. Tak hanya membantu sesama muslim, mereka juga memberi makan tunawisma. Asyiknya lagi, puasanya lebih singkat.
Nurani Susilo, London
KETIKA Anjum Anwar, salah seorang pegiat LSM Islam mengunjungi sebuah sekolah dasar di Inggris dalam rangka proyek yang disebut Understanding Islam (Memahami Islam) dia disambut dengan pertanyaan-pertanyaan lugu dari murid-murid sekolah tersebut. “What is Islam, is it some kind of food?” (Apakah Islam itu sejenis makanan?). Begitu antara lain pertanyaan yang dikemukakan.
Cerita Anjum yang telah mengunjungi 120 sekolah dalam proyek yang bertujuan memerangi Islamphobia di Inggris setelah peristiwa 11 September, seperti ditulis harian the Guardian, menggambarkan bagaimana Islam adalah agama minoritas yang “tidak dikenal” di Inggris, seperti tecermin dari pertanyaan di atas. Maka, banyak warga -terutama yang tinggal di luar kota-kota besar- bahkan tidak tahu sama sekali tentang Islam.
Namun, ternyata keminoritasan warga muslim di Inggris, yang berjumlah 1,8 juta atau hanya 3 persen dari total penduduk Inggris yang 60 juta, tidak menghalangi mereka untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban sebagai muslim, termasuk ibadah puasa pada Ramadan.
Sebuah toko bernama Continental Food di pinggir jalan di kawasan Woolwich, London Tenggara, pada hari-hari belakangan ini lebih ramai daripada biasanya. Antrean panjang terlihat di toko yang menjual daging halal, sayur mayur dan buah-buahan Asia, Afrika, dan Timur Tengah itu. Tampak paling mencolok dari penampilan toko ini sekarang adalah aneka jenis kurma yang dipajang di depan toko, pemandangan yang tidak biasanya dijumpai.
Yang juga berbeda adalah alunan musik yang diputar sang pemilik. Pada hari-hari biasa, terdengar lagu-lagu khas Asia Selatan (India, Pakistan, dan Bangladesh) yang iramanya mirip musik dangdut. Sekarang pemilik toko lebih sering memutar lagu-lagu bersyair Islam, yang lebih dikenal dengan nasid.
Memang, suasana Ramadan di Inggris tidak meriah seperti negara-negara berpenduduk mayoritas muslim. Namun, dari kurma yang dijual di berbagai toko di komunitas muslim, dari makin penuhnya jamaah di masjid, dan kian maraknya kegiatan di berbagai organisasi masyarakat Islam, setidaknya sedikit bisa dirasakan, itulah Ramadan ala Inggris.
Tentu tidak ada baliho atau spanduk bertulisan selamat menunaikan ibadah puasa atau acara televisi yang tiba-tiba penuh dengan tema Ramadan. Bahkan, selain di beberapa wilayah yang banyak ditinggali warga muslim seperti Woolwich, di Inggris secara umum tidak tampak adanya perubahan dengan datangnya Ramadan.
Sebab, kegiatan Ramadan di Inggris lebih banyak dilakukan secara internal di masing-masing komunitas atau organisasi Islam. Misalnya, acara buka puasa bersama dan ceramah dengan tema-tema seputar Ramadan serta tema Islam lainnya. Yang juga marak saat Ramadan adalah acara-acara sosial, baik pengumpulan dana untuk membantu negara-negara muslim maupun pemberian santunan bagi warga kurang mampu di Inggris.
City Circle merupakan salah satu yayasan yang setiap Ramadan mengadakan acara tersebut. Beberapa hari lalu, City Circle mengadakan ceramah terbuka dengan pembicara Profesor John L. Esposito. Tema yang dibahas mulai masalah agama sampai dampak pemilihan presiden di AS terhadap Islam dan modernitas. Juga, dibahas tentang pengaruh terhadap perang melawan terorisme.
“Selama Ramadan ini, kami juga mengadakan kegiatan sosial rutin setiap pekan, yaitu memberi makanan kepada para tunawisma di London,” ungkap Asim Siddiqui, ketua City Circle.
Ramadan tahun lalu, yayasan Islam yang didirikan para profesional muda tersebut berhasil memberikan 2.700 hidangan kepada para tunawisma di London. Hal itu tentu tanpa memandang siapa mereka. Tahun ini, mereka menyiapkan dana yang berasal dari sumbangan sukarela hingga ribuan poundsterling untuk menyiapkan hidangan di berbagai shelter (tempat singgah) tunawisma yang mereka dirikan selama Ramadan di London.
Yayasan yang rutin mengadakan pengajian bulanan di luar Ramadan tersebut juga mengadakan sekolah Sabtu (Saturday school) selama Ramadan untuk anak-anak. Di sekolah itu, anak-anak belajar membaca Alquran dan pengenalan Islam. Juga, belajar mata pelajaran yang mereka hadapi di sekolah reguler.
Tidak semua warga muslim tergabung dalam organisasi-organisasi Islam semacam City Circle. Mereka biasanya aktif dalam pengajian antarkomunitas. Misalnya, komunitas Muslim Asia Selatan, Muslim Somalia, dan Islam Indonesia. Namun, batas komunitas berdasar negara asal tersebut tidak mutlak. Artinya, banyak juga warga asal negara lain yang bergabung. Misalnya, muslim asal Indonesia banyak yang bergabung di komunitas Malaysia atau Pakistan, begitu juga sebaliknya.
Pusat kegiatan mereka, biasanya, ada di masjid atau Islamic Center. Di Masjid Woolwich, misalnya, selama Ramadan ini selalu penuh sesak dengan jemaah yang sebagian besar berasal dari Asia Selatan dan Afrika Utara. Setiap malam diadakan ceramah dan salat tarawih yang dilakukan dalam dua tahap, pukul 21.00 dan pukul 23.00. “Tarawih pukul 23.00 itu diadakan untuk mengakomodasi jemaah yang bekerja di toko atau restoran,” kata Arifin, warga Indonesia yang tinggal tidak jauh dari Masjid Woolwich.
Masjid atau Islamic Center itu menjadi tumpuan warga muslim Inggris untuk memperoleh informasi mengenai jadwal puasa dan jadwal salat. Central Mosque di kawasan Baker Street, masjid terbesar di London, menjadi pusat informasi Islam di Inggris. Pemerintah Inggris tidak ikut campur dalam urusan agama alias memisahkan kehidupan beragama dengan negara.
Selain suasana, perbedaan yang mencolok Ramadan di Inggris adalah waktu puasa yang pendek. Sebab, Ramadan dalam beberapa tahun terakhir jatuh di musim gugur awal musim dingin. Semakin mendekati akhir puasa, semakin pendek pula waktu berpuasa.
Pada Ramadan kali ini, misalnya, di hari pertama, imsak jatuh pada pukul 05.24 dan magrib pukul 18.10. Tetapi, pada hari terakhir puasa, 13 November, imsak pukul 05.10 dan magrib pukul 16.16 (ini berarti lebih singkat sekitar satu jam dibandingkan dengan di Indonesia). Keuntungan lain dengan Ramadan di musim gugur atau musim dingin adalah cuaca begitu dingin, sehingga umat Islam yang berpuasa di Inggris tidak merasa haus.
Jangan iri dulu. Sebab, dalam beberapa tahun mendatang, Ramadan kembali jatuh di musim panas. Artinya, waktu siang menjadi sangat panjang. Dalam keadaan seperti itu, pukul 03.00 dini hari telah masuk imsak, sementara magrib bisa jatuh setelah pukul 21.00 (ini berarti bisa lebih panjang sekitar lima jam dibandingkan dengan di Indonesia). Belum lagi, udara luar biasa panas, sedangkan rumah dan transportasi Inggris lebih dibuat untuk cuaca dingin. Jadi, rumah menyediakan pemanas, tetapi tanpa AC.
Kesamaan Ramadan di Inggris dengan Indonesia adalah berlimpahnya makanan untuk berbuka puasa. Tradisi makan enak untuk berbuka ataupun sahur ternyata sama di mana pun kaum muslim berada. Di Inggris, di kawasan mayoritas pemeluk Islam yang dihuni warga yang berasal dari Asia Selatan, Afrika, dan Timur Tengah mempunyai kebiasaan makan besar seperti halnya di tanah air.
Bahkan, karena porsi makan mereka tiga kali lebih banyak dibandingkan dengan porsi makan orang Indonesia, makanan selama Ramadan di Inggris terasa jauh berlimpah-limpah. Asal ada acara berbuka bersama, muslim asal Indonesia pasti akan kewalahan menghabiskan porsi makan yang disediakan. Rasanya? Tidak kalah enaknya karena seperti masakan Indonesia. Masakan negara-negara muslim tersebut memakai banyak bumbu dan juga pedas.
Islam bukan sejenis makanan, melainkan agama, a religion. Tapi, adalah benar kalau pemeluk Islam senang menyediakan banyak makanan. Begitu mungkin jawaban sederhana yang bisa diberikan pada murid SD yang dikunjungi Anjum Anwar.
Pemain Sepak Bola Liga Inggris pun Berpuasa
Pemain sepak bola, selebriti, anak pejabat hingga penyiar MTV ramai-ramai masuk Islam. Ada yang menceritakan keislamannya dengan bangga, ada yang menyimpannya dengan rapi.
Nurani Susilo, London
KOLO Toure setiap Jumat tidak pernah absen pergi ke sebuah masjid dekat kompleks lapangan latihan Arsenal di Colney London Utara. “Agama adalah salah satu bagian penting dalam hidup saya,” katanya. Tidak hanya salat Jumat, dia juga mengaku melaksanakan salat lima waktu ketika keadaan memungkinkan baginya. “Saya salat ketika saya bisa, ketika saya punya kesempatan untuk melaksanakannya.” Namun, dia kemudian menambahkan, “Tapi, bukan berarti ketika saya di ruang ganti pemain, kemudian salat di sana.”
Itulah Kolo Toure, pemain belakang yang mampu mempertahankan rekor keunggulan Arsenal sebelum dikalahkan Manchester United Minggu lalu. Dia pun dikenal karena ketaatannya menjalankan kehidupan sebagai muslim. Sosok pemain asal Pantai Gading ini secara tidak langsung juga memopulerkan Islam kepada para penggemar bola. Islam agama minoritas, sedangkan penggemar bola adalah mayoritas di Inggris.
Dalam setiap wawancara panjang dengan Toure tidak pernah ketinggalan disebutkan kehidupan pribadinya sebagai seorang muslim. Yang paling meninggalkan kesan bagi pendukung Arsenal dan penggemar bola di Inggris adalah pengakuannya untuk menjalankan ibadah puasa pada Ramadan.
Mantan pemain Asec Mimosas ini menyatakan, kecuali pada hari pertandingan, dia selalu menjalankan puasa Ramadan. “Saya berusaha selalu berpuasa Ramadan di luar hari pertandingan,” katanya kepada the Times.
Profesinya sebagai pemain bola profesional memang membuatnya terpaksa tidak berpuasa di hari timnya bertanding. “Sebagai pemain profesional saya berkewajiban memberikan yang terbaik bagi klub saya, antara lain tetap fit ketika bertanding,” tambahnya.
Dia yakin dengan sikapnya itu. “Allah mengerti kalau saya tidak bisa berpuasa di hari pertadingan,” adalah pernyataan Toure yang sejak diucapkannya pada Ramadan tahun lalu dikutip oleh banyak media dan website pribadi para fans Arsenal. Kini, kata puasa Ramadan di kalangan penggemar sepak bola Inggris identik dengan Kolo Toure.
Selain salat dan berpuasa Ramadan, dalam keseharian Toure juga mempraktikkan ajaran Islam yang lain. Misalnya, kebiasaannya mengucap salam dan menjabat tangan siapa saja yang ditemuinya. Dia tidak membedakan status, mulai rekan setim, wartawan, sampai para juru masak di klub Arsenal.
Selain Kolo Toure, beberapa pemain Liga Inggris juga muslim. Baik yang muslim dari lahir, seperti Toure, juga muslim karena berpindah agama (convert). Dan, sekolah Islam Islamia yang didirikan penyanyi Yusuf Islam di Kilburn, London, adalah salah satu lembaga yang memanfaatkan para pemain sepak bola muslim sebagai role model (contoh) bagi murid-muridnya. Menurut sumber sekolah tersebut, beberapa pemain sepak bola muslim seperti Nicolas Anelka (Manchester City) dan Omer “Freddie” Kanoute (Tottenham Hospur) berkunjung ke sekolah tersebut.
Sekolah itu sangat populer di Inggris hingga calon muridnya harus mendaftar 6 tahun sebelumnya (waiting list) untuk bisa mendapat tempat. Juga banyak keluarga muslim pindah rumah ke daerah Kilburn untuk bisa memasukkan anaknya ke sekolah yang didirikan pada 1983 oleh penyanyi yang bernama asli Cat Stevens itu.
Perkembangan Islam di Inggris memang bisa dibilang pesat, terutama di kota-kota besar seperti London, Birimingham, Manchester, dan Sheffield. Menurut hasil sensus terakhir, ada 14.200 warga kulit putih Inggris yang convert (pindah agama) ke Islam. Mereka pun bukan hanya dari kalangan biasa. Banyak di antaranya anak mantan pejabat tinggi, selebriti, dan keturunan keluarga terhormat Inggris.
Contohnya Joe Ahmed-Dobson, anak Frank Dobson, mantan menteri kesehatan Inggris. Bahkan, kini Joe menjadi pengurus teras Muslim Council of Britain, organisasi Islam terbesar di Inggris.
Dalam suatu penelitiannya, Yahya (sebelumnya bernama Jonathan Birt, anak Lord Birt, mantan direktur utama BBC) -yang seperti juga Joe, kini pemeluk Islam taat- menemukan alasan utama banyaknya warga Inggris convert ke Islam. “Adalah spiritualisme kehidupan muslim yang sering menjadi alasan termasuk bagi saya,” kata Yahya yang mengambil subjek young British muslims (generasi muda Islam Inggris) sebagai disertasi doktornya di Universitas Oxford.
Pemeluk Islam dari keluarga terhormat lain adalah Emma Clark, cicit mantan PM Inggris pada awal Perang Dunia I, Herbert Asquith. “Semoga banyaknya Briton (orang Inggris) yang pindah menjadi Islam tidak sekadar mode sesaat,” kata perempuan yang ahli mendesain taman ini. Emma Clark inilah yang membantu mendesain Islamic garden (taman bernuansa Islam) di kompleks rumah sekaligus peternakan milik Pangeran Charles di Highgrove, Gloucestershire.
Proyek terbaru Clark adalah mendesain taman serupa di seputar tempat parkir sebuah masjid di Woking, Surrey.
Banyak pula dari mereka yang pindah ke agama Islam karena terinspirasi tulisan mantan diplomat Inggris, Charles Le Gai Eaton. Eaton, yang karyanya berjudul Islam and the Destiny of Man, menyatakan bahwa “Saya menerima surat dari banyak orang yang tidak setuju dengan Kristen yang semakin kontemporer dan mereka mencari agama lain yang tidak berkompromi terlalu banyak terhadap kehidupan modern”.
Yang lain berpindah agama karena pacar atau pernikahan. Kristian Backer, mantan pacar pemain kriket Imran Khan, mengaku mengenal Islam melalui pacarnya. Tetapi, dia baru berpindah agama justru setelah mereka putus. “Imran yang menanam benih Islam saya. Namun, momentum untuk berpindah agama justru setelah hubungan kami putus,” kata Backer yang semula merahasiakan keislamannya karena takut mempengaruhi karirnya.
Meskipun masih belum penuh memakai jilbab, Backer mengaku telah membuang baju-baju seksi miliknya semasa menjadi penyiar MTV Eropa.
Namun, ada pula pemeluk Islam baru yang tidak mau menyebutkan alasannya berpindah agama. The Earl of Yarborough, seorang tuan tanah seluas 28 ribu hektare di Lincholnshire misalnya. Pria berusia 40 tahun yang kini berganti nama menjadi Abdul Mateen menolak menjawab setiap kali ditanya tentang alasannya masuk Islam.
Pertanda terkuat bahwa Islam sudah diterima dalam kehidupan Inggris adalah diberlakukannya peraturan baru di kalangan Istana Buckingham awal tahun ini. Ratu Elizabeth II menyetujui aturan yang mengizinkan pegawai istana yang beragama Islam pergi ke masjid untuk melaksanakan salat Jumat. Salah satu staf istana dari bagian keuangan mengaku tidak pernah menyia-nyiakan kesempatan yang didapatnya itu.
Bagi kalangan muslim yang terlahir dari keluarga muslim (muslim karena keturunan) di Inggris -termasuk yang berasal dari Indonesia- mengenal para pemeluk Islam baru sebagai muslim yang sangat taat. Tidak jarang mereka lebih ketat dalam menjalankan kewajiban dan menjauhi larangan Islam dibanding muslim keturunan.
Selain itu, mereka dikenal sungguh-sungguh dalam mempelajari Islam, termasuk Alquran. Sebagian besar hafal Alquran yang jauh lebih bagus daripada muslim keturunan. Tidak sedikit pula yang hafal Alquran dalam waktu yang tidak begitu lama, hasil belajar dengan sangat serius.
Kalau sudah berhadapan dengan kemajuan pemeluk Islam baru ini, biasanya pemeluk Islam keturunan hanya bisa malu hati. Apalagi, kalau mereka awalnya belajar dari mereka, tetapi tidak berapa lama murid baru itu justru lebih pandai daripada gurunya. Belum lagi ketika melihat kehidupan sehari-hari mereka yang benar-benar dijalankan sesuai aturan Islam.
Pengajian Virtual, Ustad-Jamaah di Negara Berbeda
Nuansa negara maju juga mewarnai kehidupan muslim di Inggris. Dunia maya pun menjadi sarana dakwah. Namun, kumpul-kumpul tetap merupakan kehangatan yang dirindukan. Apalagi, ada bungkusan nasi yang bisa di-take away.
Nurani Susilo, London
PUKUL 06.15 GMT, keluarga Asep Setiawan baru selesai melaksanakan salat Subuh. Ketiga anak mereka -Isti, 14; Hanif, 12, dan Zaka, 8, yang bangun sejak pukul 05.00 GMT untuk makan sahur kembali meneruskan tidur.
Sementara Asep beserta istri dan bapak-ibu mertua yang tengah berkunjung, melanjutkan ritual sahur mereka. Masih dengan sarung dan mukena, mereka kemudian duduk bersila di depan komputer. Apa yang dilakukan keluarga yang tinggal di Dagenham, Essex, di ujung timur London ini?
Tentu saja mereka bukan chatting, melainkan mendengarkan ceramah Ramadan melalui yahoo messenger. Pagi itu, yang memberikan ceramah adalah Ustad Ahmad Yani yang berada di Belanda atas undangan pelajar dan keluarga muslim Indonesia di Negeri Kincir Angin tersebut.
Beberapa kali Asep bangkit dari duduknya di karpet dan mengetik di komputer. Mengirim pesan, juga melalui yahoo messenger,adalah cara para jamaah virtual itu mengajukan pertanyaan kepada sang Ustad. Pertanyaan itu kemudian dijawab ketika materi ceramah, yang pagi itu membahas porsi ibadah dalam kehidupan sehari-hari.
“Alhamdulillah, kita telah menyelesaikan materi untuk pagi ini. Isya Allah besok pagi pada jam yang sama kita bisa bertemu lagi. Dan semoga jamaahnya bisa bertambah,” begitu Ustad Ahmad Yani menutup ceramahnya.
Mendengarkan -atau kadang wajah pembicara tampil di komputer jika kebetulan menggunakan web cam- ceramah melalui internet adalah cara yang sering dilakukan muslim Indonesia di Eropa. Dan, sesama muslim Indonesia di kota-kota di Eropa itu saling berhubungan untuk mengaji bersama, dengan penyelenggara yang bergantian.
Pagi itu Ustad Ahmad Yani bisa tampil di seluruh layar komputer muslim Indonesia di Eropa atas kerja yang dilakukan pelajar Islam Indonesia di Belanda. “Beberapa hari lalu Ustad Anis Matta berceramah melalui cara yang sama dengan penyelenggara pelajar Indonesia di Jerman,” kata Asep.
“Apakah Ustad Anis Matta tengah berada di Jerman?” saya bertanya kepada produser BBC London ini. “Oh, tidak, Ustad Anis Matta berada di Indonesia, tapi yang mengatur teman-teman dari Jerman,” papar Asep.
Begitulah, penggunaan teknologi internet dilakukan muslim-muslim Indonesia di Inggris dan di negara Eropa lain untuk mengaji bersama selama Ramadan. Ustad boleh berada di mana saja dan jamaahnya juga tersebar di beberapa negara. Tetapi, setiap selesai subuh, semua berkumpul di rumah masing-masing untuk mendengarkan ceramah yang sama melalui internet.
Setiap Sabtu siang, Asep dan istrinya, Titin, juga menghadiri pengajian lain. Namun, pengajian ini mengharuskan mereka datang ke sebuah rumah di Southfield, dekat kompleks tenis Wimbledon di London Barat. Di kelompok pengajian ini untuk tahun ini Asep menjabat ketua. Kelompok tersebut sebagai tempat berkumpul warga muslim Indonesia di London dan sekitarnya.
Para pelajar Indonesia di London dan warga Indonesia yang bermukim di Inggris lainnya datang selepas asar untuk bertadarus Alquran, berbuka puasa, mendengarkan ceramah, dan salat tarawih bersama. Ceramah Ramadan biasanya disampaikan oleh para pelajar di London dan kota-kota lain di Inggris yang kebetulan juga seorang ustad.
Namun, ada kalanya pengajian yang bernama Al Ikhlas ini mendatangkan ustad dari Indonesia. Biasanya, Al Ikhlas bekerja sama dengan pengajian lokal di kota lain di Inggris, seperti Manchester, Birmingham, dan Sheffield, tempat banyak pelajar atau warga Indonesia tinggal. Selama di Inggris, ustad tersebut akan berkeliling ke setiap pengajian lokal itu yang biasanya mengadakan pengajian rutin setiap Minggu atau dua minggu sekali.
“Sejak beberapa tahun terakhir, Al Ikhlas juga dipercaya mengelola pengajian Ramadan setiap Minggu di KBRI London,” kata Asep. Termasuk di dalamnya pengajian khusus untuk anak-anak dan remaja yang dilakukan selepas salat asar.
Pengajian anak-anak dan remaja ini dikelola oleh ibu-ibu yang tergabung dalam tim Alief. Mereka adalah guru sekolah anak-anak Alief, yang di luar Ramadan diadakan dua minggu sekali bersamaan waktu dan tempatnya dengan pengajian Al Ikhlas.
Pengadaan makanan berbuka puasa dan acara pengajian di luar Ramadan ditangani ibu-ibu pengajian yang dibagi per kelompok. Setiap kelompok mendapat giliran memasak serta menyiapkan hidangan.
Menunya? Tidak kalah dengan menu buka puasa di Indonesia. Hindangan yang disediakan secara sukarela ini selalu lengkap. Makanan takjil berbuka juga khas Indonesia, seperti kolak, bubur atau es buah, makanan kecil mulai kurma hingga kue manis dan asin asal Indonesia. Makanan utamanya juga ala Indonesia, mulai ayam goreng, soto, bakso, asinan, rendang, empal, sayur asem, kerupuk hingga sambal dan lalapan hadir di meja berbuka secara bergiliran.
Tidak berhenti sampai acara makan di tempat. Ketika makanan masih tersisa, jamaah yang sebagian besar pelajar yang hidup single dan tinggal di rumah kos di London itu akan mendapat bungkusan untuk dibawa pulang. Di Inggris kegiatan ini dikenal dengan take away. Penyebutan take away ini diambil dari istilah di restoran Inggris yang pembelinya membawa pulang makanannya alias tidak makan di restoran tersebut.
Pengajian Al Ikhlas yang menempati rumah wakaf dari seorang pengusaha restoran sukses di London asal Jawa Timur ini telah mempunyai dua “anak”. Pertama, pengajian Al Hidayah, yaitu pengajian khusus yang didirikan Al Ikhlas untuk para TKW Indonesia di London dan sekitarnya.
Kini, Al Hidayah sudah mandiri dalam arti mengelola sendiri pengajiannya, termasuk penyediaan tempat yang biasanya bergilir di rumah atau tempat kos para TKW. Al Ikhlas hanya menyediakan materi serta pembicara yang dilaksanakan dua minggu sekali itu. Tetapi, khusus selama Ramadan, Al Hidayah kembali bergabung dengan Al Ikhlas.
Anak Al Ikhlas yang lain adalah Al Baroqah. Ini juga untuk para TKW, tetapi mereka yang baru datang ke London atau baru mulai belajar mengaji. “Al Baroqah untuk yang baru belajar dan baru datang. Kalau digabung dengan Al Hidayah, materinya akan ketinggalan,” kata Titin Suhartini, pengurus Al Ikhlas yang ditugasi menangani Al Baroqah.
Keluarga Asep Setiawan bersama pengajian Al Ikhlas adalah potret lain kehidupan warga muslim Indonesia di London atau Inggris pada umumnya. Tinggal di negara yang Islam adalah agama minoritas tidak menghalangi mereka untuk menjalankan kewajiban sebagai umat Islam. Juga semangat berdakwah serta bersilaturahmi sesama muslim pun tidak hilang di tengah kehidupan Barat yang jauh dari nuansa Islam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar